Wednesday, November 23, 2011

'Paper Quilling', Usaha Rumahan Tanpa Harus Dapat Tekanan Bos

Bermula dari ketertarikan dengan cara pembuatannya, Lasmini kini menjadikan seni menggulung kertas atau paper quilling sebagai penghasilan. Paper quilling yang dulu biasa dipakai mendekor di buku, di tangan Lasmini dibuat dalam beberapa bentuk karakter dan unik. "Biasanya yang memesan itu tentang karakter pribadi," kata Lasmini di rumahnya di kawasan Lembang, Jawa Barat, baru-baru ini. 

Lasmini mengatakan, sebenarnya ada bahan khusus untuk membuat paper quilling. Namun, ia mencoba mengaplikasikan dengan bahan lain, seperti majalah bekas dan karton. "Dari koran juga bisa," ucap Lasmini.

Untuk membuat sebuah karakter, tahap awal adalah memilih bahan untuk kemudian dipotong-potong. Pilih warna sesuai karakter yang akan dibuat. Setelah dipotong-potong, kertas digulung dan ukurannya berbeda. Untuk bentuk kepala, biasa dibuat besar. Sedangkan untuk tangan dan kaki dibuat kecil-kecil 

Kertas-kertas yang sudah digulung itu kemudian dirangkai. "Dipasang mulai dari, kaki, tangan, dan seterusnya," ujar Lasmini. "Tempelkan aksesoris yang diperlukan." 

Berbagai karakter musisi terkenal pernah ia buat, di antaranya Mitha The Virgin. "Meski tak terlalu mirip, tapi (saya) ambil karakter yang ada di dirinya," kata Lasmini. "Misalnya gitar, kalung, dan rambutnya."
Menurut Lasmini, faktor kesulitan untuk membuat satu paper quilling ada di kreativitasnya. "Kita harus jeli dan teliti untuk setiap karakter orang yang memesan bonekanya kepada kami," tutur Lasmini.

Lasmini mengaku sudah memasarkan karya-karyanya ke seluruh daerah di Indonesia. "Cuma Papua dan Sulawesi yang belum," ujar Lasmini. Ia memasarkan karya-karyanya lewat internet atau jejaring sosial facebook. Pangsa pasarnya adalah anak dan dewasa. "Bahkan, orangtua juga suka," ujar Lasmini.

Punya Bisnis Sendiri, Siapa Takut?
Senangnya bisa menjalankan usaha sendiri tanpa ada tekanan dari seorang bos. Ketahuan lagi. Sang Ibu kembali memergoki kamar Gita Rachmaningtias (23 tahun) berantakan. Kain flanel, bahan hama beads, jarum, benang, beading, pensil, kertas, dan barang lainnya berserakan. "Seperti kapal pecah memang," ceritanya sambil tertawa. Biar begitu, kekacauan itu selalu terulang. "Ibu sampai bosan dan menyuruh saya agar berhenti membuat kerajinan," katanya.

Keadaan ini berlangsung hampir setiap hari hingga Gita menamatkan pendidikannya di Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung. "Daripada menganggur, sambil menunggu panggilan kerja, saya iseng membuat kerajinan tangan," katanya. Sejak kecil, Gita memang senang berkreasi dengan kertas ataupun barang-barang bekas. "Dulu saya sering sekali mengumpulkan kotak kosong bekas, saya lalu menyulap kotak itu menjadi barang-barang lucu," katanya.

Kebiasaannya itu malah membuatnya mendapatkan julukan baru di rumah Pemulung. "Tapi saya tidak peduli, saya terus melakukannya," ujar Gita kembali tertawa. Keterampilan itu terus berlanjut hingga Gita duduk di bangku SMA. Berkat sebuah buku soal paper quilling atau seni menggulung kertas, Gita berhasil menjual sejumlah kartu ucapan pada teman-temannya. "Lalu saya berhenti membuat kartu karena masuk kuliah, meskipun ada juga teman yang meminta saya membuat kartu untuk mereka," katanya.
Order kembali datang padanya pada akhir 2008 lalu dari seorang teman. Kali ini Gita tidak menolak. "Saya kerjakan permintaan membuat sekitar 20 kartu ucapan. Sejak itu saya mulai membuat kerajinan lagi," ujarnya. Malah, setelah lulus kuliah Gita mulai serius membuat karya dan melabelinya dengan nama "Bengkel Bikin-Bikin.
Ketika memutuskan untuk serius dengan kerajinan, bukanlah hal yang gampang. Tantangan justru berasal dari keluarga. "Ibu tidak setuju. Dia tetap berpikir agar saya mencari pekerjaan tetap di kantoran," katanya. Namun, Gita percaya bahwa usahanya ini tidak akan sia-sia. Dia membuktikannya, setelah sibuk memperkenalkan barang dagangannya di Facebook dan kepada teman-teman dekatnya, order mengalir deras. Dalam sebulan, Gita bisa menghasilkan keuntungan kotor hingga Rp 2,5 juta. "Saya senang karena bisa menghasilkan uang sendiri," ujarnya.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Linda Sari (24). Awalnya, ketika masih tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB), Linda tertarik pada sebuah buku yang membahas cara membuat kerajinan tangan dari bahan flanel. "Saya lalu membeli buku itu," katanya.
Sejak itulah Linda memulai usahanya. "Awalnya saya membuat kerajinan tersebut hanya untuk koleksi pribadi, tapi ternyata banyak teman yang suka karya saya," ujarnya. Tidak lama, permintaan untuk membuatkan boneka flanel terus berdatangan. Setelah lulus kuliah, baru Linda memutuskan untuk serius pada pekerjaan tersebut. Kerajinan tangan yang dibuatnya diberi label Ndandut Flanel. Berbeda dengan Gita, niat Linda untuk serius dalam menjalankan usaha tersebut mendapatkan dukungan keluarga sejak awal. "Saya dibantu oleh adik dalam memenuhi pesanan yang datang," ujar Linda.
Linda dan Gita sangat puas bisa menghasilkan uang dengan berwirausaha. Mereka bisa menjalankan usahanya sendiri tanpa ada tekanan dari atasan atau seorang bos. Memberikan lapangan kerja baru untuk mereka adalah cita-cita dan kepuasan tersendiri bagi Linda dan Gita.
Dengan berwirausaha, mereka juga belajar banyak hal soal marketing dan keuangan. Dua hal yang tidak mereka pelajari di bangku kuliah. "Saya jadi tahu tata cara pengiriman barang, pengurusan pembayaran, hingga cara melihat peluang," ujar Linda. Bahkan, Linda bercita-cita bisa menjual produknya ke luar negeri. "Senang rasanya melihat kerajinan yang kita buat bisa dipajang di luar negeri," katanya.

No comments:

Post a Comment